When Your Guilty Eat You Up

Photo by Clément Falize on Unsplash


Kita mungkin pernah menyinggung atau menyakiti seseorang, baik secara sengaja atau tidak. Rasa bersalah kita tersentil tatkala kita sadar telah melakukan perbuatan itu. Penelitian Baumeister dkk (1995) memaparkan bahwa manusia mengalami perasaan bersalah ringan sekitar dua jam dalam sehari, sedang sekitar lima jam dalam seminggu, dan berat selama kira-kira tiga setengah jam sebulan. Ada juga perasaan bersalah yang menetap selama bertahun-tahun.

Rasa bersalah adalah tekanan emosional yang sangat umum disebabkan oleh keyakinan bahwa kita telah melakukan sesuatu yang salah atau mengakibatkan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap orang lain (Winch, 2013)

Fungsi rasa bersalah adalah memberikan sinyal bahwa kita telah melakukan hal yang melanggar nilai-nilai moral atau norma pribadi kita, yang mungkin secara langsung atau tidak merugikan orang lain. Perasaan bersalah memiliki banyak manfaat. Salah satunya, melalui perasaan bersalah, manusia mampu menjalankan norma perilaku dan menjaga hubungan pribadi serta komunitas dimana kita berada. 

Respon kita dalam menanggapi perasaan ini ialah melakukan evaluasi kembali terhadap rencana perilaku atau meminta maaf kepada mereka yang disakiti, kemudian memperbaiki situasi yang dapat kita lakukan, dan akhirnya rasa bersalah itu menghilang. Walaupun begitu, terkadang ada beberapa perasaan bersalah yang bertahan, membuat kita tersiksa, dan menghancurkan hubungan dengan orang-orang terdekat kita. 

Rasa bersalah yang tidak sehat seperti ini biasanya muncul pada situasi yang melibatkan jalinan relasi atau berkaitan dengan orang lain. Winch (2013) membaginya menjadi tiga bentuk rasa bersalah yang tidak sehat, yaitu rasa bersalah yang tidak terselesaikan, rasa bersalah yang bertahan, dan rasa bersalah karena perpisahan. Alasan timbulnya beragam. Mungkin karena kita kurang pandai dalam menyampaikan permintaan maaf yang efektif. Mungkin karena orang lain tidak mau memaafkan kita atau mereka tidak mampu. Atau mungkin, keadaan menghambat kita untuk menyampaikan permintaan maaf. Beberapa lainnya mungkin tidak memiliki alasan yang jelas dari pihak kita, misalnya para penyintas perang, penyakit, atau korban selamat bencana alam. 

Saat kita mendapati diri kita lebih beruntung dari orang lain, empati dan hati nurani kita mampu menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan. Sering kali kita merasa bersalah walaupun kita tidak membuat kesalahan. Contoh, remaja perempuan merasa bersalah karena kedua temannya saling bertengkar. Perasaan bersalah yang bertahan sulit untuk disingkirkan karena tidak ada perbuatan yang harus ditebus, hubungan yang diperbaiki, atau permohonan maaf yang harus disampaikan. 

Winch (2013) membagi dua jenis luka psikologis yang disebabkan oleh rasa bersalah yang tidak sehat. Pertama adalah jenis yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perasaan bersalah terhadap fungsi individual dan kebahagiaan. Biasanya ini menimbulkan rasa tertekan secara emosioal dan menghambat kita untuk membahagiakan diri karena melakukan self-blaming yang terlalu ekstrem. Jenis kedua adalah yang menghancurkan hubungan kita dengan orang lain. Saat merasa bersalah, biasanya kita menghindari sumber pembuat rasa tidak nyaman, yang nantinya membuat hubungan menjadi renggang dan masalah tidak terselesaikan. 

Rasa bersalah sering kali semakin kuat karena seringkali kita beri makan dengan melakukan self-blaming. Rasa bersalah akhirnya berubah menjadi penyesalan dan rasa malu. Kita menjadi tidak rasional. Awalnya kita menyalahkan perbuatan kita, namun selanjutnya kita mulai menyalahkan diri kita, membenci diri, mengurangi kepercayaan diri, dan muncul gangguan-gangguan kesehatan mental, seperti depresi. Kita juga mungkin berusaha melampiaskan tekanan emosional dengan menghukum diri kita dengan perilaku merusak diri, baik secara jiwa atau raga. 

Lalu, bagaimana menangani luka psikologis yang timbul karena rasa bersalah? 

Winch memberikan tiga cara penanganan yaitu, menangani hubungan yang rusak karena rasa bersalah, memaafkan diri sendiri karena situasi yang tidak memungkinkan untuk meminta maaf kepada orang ybs, dan terakhir, mencoba terlibat kembali dalam kehidupan. Pada post ini saya akan membahas mengenai penanganan pertama [buat yang penasaran cara penanganan yang lain, bisa baca sendiri bukunya ya]. 

via GIPHY

Esensi penting untuk memperbaiki hubungan yang rusak karena rasa bersalah adalah mempelajari cara untuk penyampaian permohonan maaf yang efektif. Permohonan maaf yang ideal terdiri dari tiga unsur, yaitu pernyataan penyesalan atas apa yang terjadi, pernyataan kata penyesalan dengan jelas (contoh: "saya minta maaf..", "saya meyesal..."), dan permohonan agar kita dimaafkan. [Ketiga hal ini harus diucapkan secara tulus]. Akan tetapi, ada tiga unsur tambahan yang penting dalam keberhasilan permintaan maaf, yaitu membenarkan perasaan orang ybs, mengajukan penebusan, dan mengakui bahwa kita tidak menghargai harapan mereka. 

Pembenaran perasaan adalah bagaimana kita berusaha mengerti bagaimana perasaan mereka yang tersakiti karena perilaku yang kita buat dan menyetujui bahwa apa yang mereka rasakan adalah benar. Tentu saja kita harus menempatkan diri kita sebagai orang tersebut, memahami konsekuensi dari perbuatan kita, bagaimana pengaruhnya orang itu, dan perasaan-perasaan yang ditimbulkannya. Dalam melakukan ini, kita harus membenarkan perasaan seseorang dengan tepat, walaupun terkadang bertentangan dengan hati nurani kita. Sampaikan pemahaman kita mengenai perasaan mereka dengan empati yang besar. Ada lima langkah yang diberikan Winch sebagai tips dalam menawarkan pembenaran perasaan yang tulus:

  1. Biarkan orang lain menyelesaikan cerita tentang apa yang terjadi sehingga kita dapat faktanya secara utuh
  2. Sampaikan pengertian akan apa yang telah terjadi pada orang tsb dari sudut pandang dia (entah kita setuju atau tidak dengan pandangannya walaupun jelas pandangannya tidak benar)
  3. Sampaikan pengertian kita tentang bagaimana perasaan orang itu akibat apa yang sudah terhadi (dari sudut pandang ia)
  4. Akui bahwa perasaan itu wajar
  5. Sampaikan rasa empati serta penyesalan atas kondisi emosi orang tsb [mengenai empati dapat dibaca dalam post ini].
Setelahnya, kita bisa menawarkan penebusan atau kompensasi. Kita tanyakan apakah ada hal yang bisa kita lakukan untuk menebus kesalahan kita. Usahakan untuk tetap lakukan walaupun ia menolak penebusan. 
Lalu akhirnya, berikan pemahaman pada mereka bahwa kita sudah mendapatkan pelajaran dari peristiwa tersebut. Kita akui bahwa apa yang kita lakukan memang melanggar apa yang mereka harapkan dan mengajukan jaminan bahwa kita tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Kita dapat memberikan pengetahuan kepada mereka mengenai langkah-langkah eksplisit yang akan kita lakukan sebagai jaminan. 

Lakukanlah prinsip penanganan ini secara lengkap dan penuh perhatian kepada orang yang disakiti. Pastikan untuk menyusun langkah-langkah ini dengan hati-hati dan pertimbangkan waktu, tempat, dan kondisi terbaik untuk menyampaikannya. Penanganan ini bermanfaat untuk mengurangi rasa bersalah dan menghukum diri sendiri, juga memperbaiki hubungan yang rusak.

Semoga infonya bermanfaat dan selamat merenung 😃
ᐯᗩᑭ


Referensi: 
Baumeister, R. F., Reis, H. T., Delespaul, P. A. E. G. 1995. Subjective and experimental correlates of gulity in daily life. Personality and Social Psychology Bulletin 21. 1256-1268.
Baumeister, R.F., Stilwell, A. M., Heatherton, T. F. 1994. Guilt: an interpersonal approach. Psychological Bulletin 115. 234-267.

Komentar