Ghosting: Heartless Simple Tactic

 

Photo by Tandem X Visuals on Unsplash


Istilah ghosting ini awalnya terjadi dalam komunikasi online dan menjadi populer di tahun 2015 karena banyaknya berita mengenai pemutusan hubungan pada artis-artis papan atas, dan akhirnya digunakan oleh kalayak umum. Sejak saat itu ghosting banyak didiskusikan dalam dunia per-dating-an dan hubungan di banyak media. Di Indonesia menjadi ramai digunakan karena berita kandasnya hubungan Kaesang dan Felicia akhir-akhir ini. 

Apa itu ghosting?

Menurut mas Wikipedia, ghosting adalah istilah sehari-hari yang menggambarkan proses mengakhiri hubungan dengan memutus semua komunikasi dan kontak terhadap pasangan, teman, atau orang-orang tertentu tanpa peringatan atau penjelasan, dan mengabaikan setiap usaha orang-orang untuk kembali menjangkau atau menjalin komunikasi. Menurut seorang psikolog klinis Washington DC, Vinita Mehta Ph.D., Ed.M. (2019), ghosting merujuk pada
practice of ending a relationship by suddenly ceasing all communication, without providing an explanation
[intinya masih sama dengan apa yang diungkapkan oleh mas Wiki]. 
Dalam proses ghosting ada dua pihak yang terlibat, yaitu ghoster (pelaku ghosting) dan ghostee (korban ghosting).
Permasalahannya, ghosting menjadi kebiasaan yang umum dilakukan dalam mengakhiri hubungan dan dampak emosional yang dirasakan dapat menghancurkan korban ghosting, terutama ketika mereka memiliki self-esteem yang rapuh. 

Mengapa orang melakukan ghosting?

Ghoster biasanya berusaha untuk menghindari ketidaknyamanan kondisi emosional mereka sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain (ghostee). Media online juga bisa menjadi faktor pendukung bagi ghoster karena minimnya konsekuensi sosial jika mereka keluar dari kehidupan ghostee. Kebanyakan ghoster tidak melakukan tatap muka langsung atau berada jauh dari lingkaran sosial ghostee. Semakin sering hal ini terjadi, semakin mereka tidak peka bahwa hal itu menyakiti orang lain dan akhirnya peluang menjadi lebih besar untuk melakukannya lagi.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Leah LeFebvre (2019) mengungkapkan lima tema utama mengapa orang mungkin melakukan ghosting
Pertama ialah tema convenience (kepraktisan). Partisipan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa ghoster suka melakukan ghosting karena cara ini adalah cara paling praktis dalam mengakhiri hubungan dibandingkan cara yang lain. Salah satu partisipan mengungkapkan "ghosting lebih mudah dilakukan daripada menyiapkan waktu untuk mengakhiri hubungan atau mengatasi emosi baik dari diri sendiri atau emosi pasangan saat itu." 
Kedua ialah tema attraction (daya tarik). Tema ini mengacu pada proses seleksi pemilihan pasangan. Biasanya berkaitan dengan daya tarik fisik, emosional, dan/atau intelektual. Kencan online dan dating app menyediakan banyak kesempatan untuk kencan dan melakukan hubungan di luar wilayah grografis seseorang. Dating app juga menyediakan banyak informasi mengenai calon pasangan yang potensial sehingga menunda pertemuan tatap muka dan mengenal calon pasangan lebih dalam. Informasi-informasi ini berfungsi sebagai filter untuk menentukan apakah pengguna dating app akan berusaha terus mengejar atau malah menghindari si calon pasangan. Salah satu partisipan mengatakan,"saya memilih melakukan ghosting karena saya tidak lagi tertarik, dan hubungan itu tidak dapat dikatakan cukup serius." Ghoster memanfaatkan kemudahan dari penghindaraan melalui teknologi ketika daya tarik berkurang terhadap calon pasangan.
Ketiga adalah tema negative interactions (interaksi negatif). Para ghoster mengungkapkan hilangnya ketertarikan terhadap ghostee karena adanya interaksi negatif yang menyebabkan adanya emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, atau hubungan toxic. Ini menyebabkan para ghoster untuk mengakhiri komunikasi dengan ghostee. Melakukan ghosting membuat ghoster tidak perlu berhadapan dengan situasi canggung atau negatif dengan ghostee ketika harus mengakhiri hubungan.
Keempat adalah tema relationship state (status hubungan). Tema ini berisi mengenai jenis hubungan antar pihak-pihak, termasuk hubungan romantis, persahabatan, atau kenalan, serta lamanya hubungan yang berlangsung. Ghosting tidak terbatas hanya pada hubungan romantis, ia dapat terjadi pada berbagai jenis hubungan. Ketika ghoster memutuskan untuk mengakhiri hubungan, biasanya mereka memperhitungkan investasi waktu dan keterlibatan dalam hubungan tersebut. Seorang partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa dirinya melakukan ghosting karena baru satu kali kencan dan tidak ingin melanjutkan hubungan lebih mendalam namun merasa canggung untuk membicarakan perasaannya ini. [Makanya, ghosting banyak dialami oleh pihak-pihak yang lagi dalam masa PDKT atau ONS]. 
Kelima adalah safety (keamanan). Tema ini berkaitan dengan masalah seputar keamanan, situasi berbahaya, perlindungan diri, atau kesejahteraan pribadi. Metode ghosting dianggap sebagai metode yang mudah dan praktis sekaligus menjaga keamanan. Ghoster mengungkapkan bahwa dengan melakukan ghosting dapat mencegah terjadinya hal-hal berbahaya yang akan dilakukan oleh ghostee jika melakukan tatap langsung. Biasanya ini terjadi ketika ghoster mempersepsi bahwa ghostee adalah orang yang menyeramkan, aneh, atau tidak pantas. Dengan ghosting, memberi rasa aman kepada ghoster yang tidak dapat diperoleh dengan interaksi tatap muka.

Observasi ghostee

Jika sebelumnya saya memaparkan mengenai alasan ghoster melakukan ghosting, sekarang saya akan memaparkan pengalaman ghostee terhadap ghostingLeah LeFebvre (2019) mengungkapkan tiga tema utama pengalaman ghosting yang dianalisa oleh ghostee
Pertama adalah perubahan komunikasi (modified communication). Dari observasi para ghostee, mereka mengungkapkan bahwa ada perubahan pola komunikasi yang terjadi. Intensitas komunikasi makin menurun, yang biasanya bisa sehari sekali untuk mengobrol jadi seminggu sekali, atau malah sebulan sekali. Ghoster mungkin mengakhiri komunikasi dari semua platform teknologi dan media sosial. Selain itu juga, respon dari ghoster juga mulai berkurang. Mereka tampak tidak tertarik untuk menanggapi dan memulai percakapan atau akhirnya mereka mengabaikan komunikasi yang dibangun ghostee.
Kedua adalah minat yang berkurang (lessening interest). Para ghostee melaporkan bahwa mereka sering merasakan keterarikan yang menurun oleh ghoster. Hal ini tidak hanya dialami melalui media teknologi tetapi juga tatap muka. Mereka memiliki intuisi bahwa mungkin sebentar lagi hubungan tersebut akan kandas. Namun, mereka tidak siap untuk membicarakannya dan menyadari bahwa keintiman, keterhubungan, dan perhatian dari ghoster berkurang. Banyak dari ghoster menghilang begitu saja, tanpa penjelasan, dan meninggalkan ghostee mencari tahu situasinya sendiri.
Ketiga adalah perubahan dalam status hubungan (change in relationship status). Ini nih yang paling sakit, yaitu ketika ghostee mengetahui bahwa ghoster memiliki hubungan dengan orang lain. Partisipan ghostee mengungkapkan bahwa ia menyadari menjadi korban ghosting  ketika ghoster mengungkapkan statusnya melalui media sosial.

Dampak yang dialami ghostee

Photo by Fa Barboza on Unsplash

Bagi banyak orang, ghosting dapat menyebabkan perasaan tidak dihargai, merasa dimanfaatkan, dan ditolak. Jika ghostee mengenal orang itu lebih dari beberapa kali pertemuan atau kencan, maka mungkin saja menjadi lebih traumatis. Ketika seseorang yang kita cintai dan percayai mengakhiri hubungan dengan kita, rasanya seperti kita dikhianati dengan mengenaskan. 
Mengapa itu bisa sangat menyakitkan? Perilaku ghosting bisa dikategorikan sebagai bentuk penolakan sosial. Sakit yang ditimbulkan oleh penolakan sosial mengaktifkan rasa sakit yang sama di otak sebagai rasa sakit fisik [untuk lebih memahami penolakan sosial, bisa dibuka post ini].  Menurut Jennice Vilhauer Ph.D. (2015), seorang psikolog dari LA, ada beberapa faktor spesifik yang berkontribusi terhadap distress psikologis. 
Ghosting tidak memberi ghostee petunjuk bagaimana harus bereaksi. Hal ini menciptakan skenario yang ambigu. Beberapa pikiran yang berisi kekhawatiran mengenai kondisi ghoster muncul. Para ghostee juga mulai membuat skenario-skenario pembenaran mengenai kondisi ghoster ("mungkin sedang sibuk" atau "nanti juga telepon kalau butuh"). Ghostee tidak tahu bagaimana harus bereaksi karena memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. 
Menurut Jennice (2015), tetap terhubung dengan orang lain sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia sehingga otak kita telah berevolusi untuk memiliki sistem pemantauan sosial (social monitrong system) yang memindai lingkungan untuk mencari tanda-tanda dari lingkungan itu sehingga dapat menanggapi situasi sosial tertentu. Permasalahannya, tanda-tanda itu tidak dapat ditemukan. Ghosting menghalangi ghostee dari tanda-tanda yang biasanya bisa ditemui dari lingkungan dan hal ini menciptakan perasaan galau (atau disregulasi emosi), membuat ghostee merasa tidak dapat mengendalikannya. 
Jennice (2015) mengutarakan bahwa aspek ghosting yang paling berbahaya adalah bahwa hal ini, tidak hanya menyebabkan ghostee mempertanyakan validitas hubungan yang dimiliki, tetapi juga mempertanyakan diri sendiri. 
Mengapa saya tidak bisa memprediksi bahwa hal ini akan terjadi? Kok bisa saya salah dalam menilai orang? Apa yang sudah saya lakukan sampai dia pergi begitu saja? Bagaimana cara saya mencegah hal ini terjadi kembali dan melindungi diri dari ghosting?
Mempertanyakan diri sendiri adalah bentuk dari suatu sistem psikologis yang ada, dalam memantau status sosial seseorang dan menjadi feedback dalam menilai self-worth (merasa dirinya berharga) dan self-esteem (menilai harga diri dari pengalaman). Ketika penolakan terjadi self-esteem dapat jatuh dan ketika self-esteem kita rendah, kita merasakan penolakan sebagai suatu hal yang sangat menyakitkan. Mungkin juga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengatasinya. 
Ghosting adalah bentuk akhir dari silent treatment. Suatu taktik yang sering dipandang sebagai bentuk kekejaman emosional (Jennice, 2015). Hal ini pada dasarnya membuat kita tidak berdaya dan membuat kita tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau diberi informasi yang akan membantu kita belajar akan pengalaman emosional. Taktik ini mencegah kita untuk mengekspresikan emosi dan didengarkan, dimana merupakan atribusi penting untuk menjaga self-esteem. Perilaku ghoster termasuk dalam taktik interpersonal perilaku passive-agresif yang dapat meninggalkan luka psikologi.

Cara mengatasinya?

Untuk mengatasi masalah ghosting dibutuhkan kesadaran dari kedua belah pihak tentunya.

via GIPHY

Bagi para korban ghosting, hal utama yang harus diingat adalah ketika di-ghosting, itu tidak mengurangi keberhargaan dan kelayakan diri korban untuk dicintai. Perilaku ghoster memperlihatkan bahwa mereka tidak punya keberanian untuk mengatasi ketidaknyamanan emosi mereka atau emosi ghostee. Mereka tidak paham dampak dari perilaku mereka dan tidak peduli pada orang lain. Kita tidak dapat mengendalikan perilaku ghoster, yang bisa dilakukan adalah melepaskannya, terima pengalaman emosi, dan rasa sakit yang ditinggalkan. Setelahnya, fokuskan diri dalam menemukan tujuan hidup dan melakukan hal-hal yang membuat diri bahagia. Yakinlah, bahwa masih ada orang di luar yang mau menjalin hubungan dengan kita. 


atau, jika masih tidak ampuh mengatasi lukanya, dapat menghubungi psikolog/ahli konseling.

Sedangkan untuk para ghoster...
Penyebab alasan seseorang melakukan ghosting adalah rendahnya empati dan kesulitan mereka dalam menyampaikan opini atau perasaan secara asertif. Maka dari itu, akan baik kepada para calon atau pelaku ghosting untuk bisa lebih menempatkan diri sebagai ghostee dan coba untuk berlatih mengungkapkan opini atau perasaannya. Bisa dicari "Latihan Komunikasi Asertif" di mbah googling.

Semoga infonya bermanfaat dan selamat merenung 😃
ᐯᗩᑭ

Referensi:

Komentar