Ucapan Berbahagia dan Ilmu Psikologi


Sebelum masuk lebih dalam mengenai hubungan ilmu psikologi dan Alkitab, saya mau cerita tentang pengalaman saya dalam membaca Alkitab. Saya sangat suka membaca dari kecil, tetapi Alkitab seringkali tidak menjadi pilihan saat itu. Saya tahu tokoh-tokoh Alkitab dan jalan cerita dari cerita-cerita di Alkitab. Ini semua karena orangtua saya memberikan fasilitas dan sarana untuk memahami cerita-cerita Alkitab seperti buku cerita, buku bergambar, dan mengikuti sekolah minggu secara konsisten. Saya sangat bersyukur akan semua itu. Namun, hingga saya berusia awal 20-an, saya tidak tahu apa itu esensi dari Alkitab yang sesungguhnya. Akhirnya, pada masa ini saya memahami apa itu esensi Alkitab.
Esensi yang saya dapatkan dari Alkitab, yang pertama adalah konten Alkitab. Semua hal yang ada di Alkitab adalah tentang Tuhan Yesus, dari awal hingga akhir, pusatnya adalah Pribadi yang telah menyelamatkan kita semua. Perjanjian lama pun berisi mengenai nubuat-nubuat nabi akan Tuhan Yesus. Thats the point
Seperti yang kita pahami bahwa, jalan menuju keselamatan yang kekal dan kerajaan sorga, ya hanya satu, melalui Tuhan Yesus. Jika sudah memahami ini, secara otomatis dan dengan bimbingan Roh Kudus, kita menggunakannya sebagai pedoman kehidupan kita sehari-hari dalam berperilaku. Kita menjadikannya sebagai nilai dan prinsip hidup kita. [Bisa dibaca disini, untuk referensi mengenai Alkitab]. Saya juga meyakini bahwa Alkitab juga menjadi dasar setiap orang dalam pekerjaannya.  Ini terbukti dari pengukuhan sumpah profesi yang saya lakukan  [setelah menunggu 8 bulan untuk ujian HIMPSI dan 5 bulan untuk sumpah profesi psikolog]. 

via GIPHY

Lalu sudah 2 tahun belakangan ini, saya berusaha untuk menjalani kebiasaan membaca Alkitab. Apakah sulit? Untuk orang yang tidak disiplin seperti saya, tentu saja sulit. Sulit, bukan berarti tidak bisa. Buktinya, saya bisa menyelesaikan hampir 4 kitab. Walaupun sebenarnya saya mampu lebih lagi, but thats okay. Kuncinya untuk orang-orang seperti saya ini adalah jangan menjadikan kegiatan ini sebagai beban, cari maknanya dan resapi dampaknya bagi kita. 
Waktu saya mulai berkomitmen untuk membaca Alkitab secara kontinu, saya mulai dari kitab Matius. Dalam kitab ini, perikop Kotbah di Bukit menjadi salah satu perikop favorit saya. Jika kita baca mengenai Kotbah di Bukit, kita bisa melihat nasihat-nasihat dan kata-kata motivasi yang Tuhan Yesus berikan bagi kita untuk mejalani hidup. Tentu saja, semua yang Tuhan Yesus berikan sejalan dengan yang saya pelajari dalam ilmu psikologi saya. 

Kebahagiaan yang diungkapkan dalam ucapan berbahagia ini sejalan dengan kebahagiaan yang saya pelajari di psikologi. Dimana kebahagiaan (subjective well-being) berkaitan dengan emosi positif dan kepuasan hidup. Di ucapan berbahagia Tuhan Yesus mengajarkan bahwa menentukan kebahagiaan bukan berdasarkan karakteristik dunia (hedonisme) tetapi lebih kepada karakteristik surgawi. 
  1. Pada pasal 3, dunia mengenal kemiskinan jasmani namun tidak dengan kemiskinan rohani, yaitu kesadaran bahwa kita membutuhkan Tuhan. Pada pasal 4, dunia mengenal dukacita karena peristiwa yang menyedihkan, tetapi tidak tahu bahwa kedukaan yang merupakan sikap yang diperlukan untuk berbalik dari dosa dan bergantung pada Tuhan. Artinya, respon dari kedua ajaran ini adalah Tuhan memberikan penghiburan yaitu dengan membangun komunikasi dengan-Nya (spiritualitas). Ini dapat dibuktikan dari banyaknya penelitian yang menggambarkan bahwa tingginya spiritualitas berhubungan dengan tingginya derajat kebahagiaan (Compton, 2005). 
  2. Pada pasal 5, dunia memiliki karakteristik penuh amarah disertai sikap kasar dan orang yang suka bermain kuasa. Sebaliknya, orang yang lemah lembut berbahagia karena ia memberi diri dikuasai Tuhan. Orang yang lemah lembut dapat menunjukkan kendalinya atas kemarahan. Salah satu prediktor kebahagiaan dan kepuasaan hidup (Compton, 2005) ialah sense of perceived control, dimana keyakinan bahwa seseorang memiliki kendali terhadap peristiwa hidup yang secara pribadi penting dan menjadi prioritas. Ketika sense of perceiverd control ini dibawah kendali Tuhan, Rothbaum dkk (1982) menyebutnya sebagai secondary control. Secondary control adalah kondisi dimana seseorang memperoleh sensasi memegang kendali dengan mengasosiasikan diri mereka dengan Tuhan. Hal ini membuat kita dibawah kendali secara sadar dan menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Perilaku ini berkaitan erat dengan kebahagiaan (Compton, 2005). 
  3. Pada pasal 7 dan pasal 9, menggambarkan bagaimana kebahagiaan sejati didapatkan dengan berperilaku berbagi kepada sesama. Hal ini sesuai dengan salah satu prediktor yang diungkapkan Compton (2005) diatas yaitu hubungan positif, didukung oleh penelitian Diener (1999) dan Myers (2000). Dua aspek yang berkaitan dengan prediktor ini ialah dukungan sosial dan intimasi emosional. Kasih yang membawa kedamaian membawa perilaku kita untuk memberi bantuan dan dukungan kepada sesama kita. Akbatnya ada perasaan bahagia jika kita mampu memberikan damai sejahtera bagi orang-orang sekitar kita.
Ini baru beberapa dan sebenarnya ada banyak jika kita mau menelaah lebih dalam. Mungkin akan saya sampaikan di post berikutnya, seperti masalah kecemasan atau stigma. 

Semoga infonya bermanfaat, selamat merenung 😃

ᐯᗩᑭ

Referensi:
Compton, William.C. 2005. An Introduction Positive Psychology. Wadswort: Thomson Learning.

Komentar