Annoyingly Misconceptions #4: Parno atau Cemas

 


 

Iya, kak. Aku orangnya parno-an. Pas mau ujian suka parno, gitu. Takut hasilnya mengecewakan  -SeseOrang

Yap! Istilah parno ini pasti sudah tidak asing bagi para gaul-ers [pecinta bahasa-bahasa gaul]. Parno yang biasa digunakan oleh para gaul-ers ini berasal dari kata paranoid. APA (American Psychological Association) menyebutkan dalam kamusnya bahwa paranoid adalah hal yang berkaitan dengan atau memperlihatkan ketidakpercayaan/kecurigaan yang ekstrim terhadap sesuatu. Kata kuncinya adalah ketidakpercayaan/kecurigaan [distrust or suspiciousness].

paranoid adj. 1. relating to or exhibiting extreme distrust or suspiciousness.

Sebagai konselor, biasanya saya selalu membaca biodata dan keluhan klien sebelum melakukan intake dan konseling. Isi keluhan klien saat itu adalah mengalami parno. Sebagai psikolog yang baru lepas kandang, hal ini membuat saya jadi waspada. Klien perdana loh, kok dapat kelas berat begini? Berbekal kecemasan moderat dan segala referensi, saya mempersiapkan diri saya dengan informasi-informasi beserta antsipasi bentuk intervensi yang mungkin bisa dilakukan. Ternyata, kami beda persepsi, Saudara. Parno yang dimaksudnya adalah suatu bentuk kepanikan yang dia alami ketika diperhadapkan pada situasi-situasi yang tidak membuatnya merasa nyaman atau saat pikiran negatif-nya muncul.

Setelah melakukan wawancara lebih mendalam, apa yang klien saya bilang sebenarnya memiliki makna lebih sesuai dengan istilah cemas dibandingkan parno [bisa dibaca Cemas atau Kecemasan?]. 

Intensitas keparahan dari kedua istilah ini berbeda jauh. Jika cemas lebih ke dalam suatu bentuk kondisi panik/gugup, sedangkan parno itu merupakan salah satu bentuk distorsi keyakinan yang lebih parah intensitasnya. Jika cemas biasanya ditemukan pada individu-individu dalam kondisi stres dan tertekan, sedangkan parno itu sudah merupakan gangguan kepribadian tipe A (yang memiliki perilaku aneh, eksentrik) atau schizophrenia, dimana biasanya terjadi karena situasi yang terkondisikan secara kontinu atau memiliki riwayat gangguan jiwa. 

Masalah term seperti ini tidak terlepas dari kesalahpahaman para gaul-ers mengenai istilah yang digunakan. Kesalahpahaman dalam penggunaan istilah dapat menyebabkan, baik secara langsung atau tidak, kepada self-diagnosed dan self-judgement yang tidak layak. Pemberian self-judgement ini malah akhirnya mengaktualkan gangguan yang mungkin awalnya tidak ada dan memperkuat permasalahan kesehatan mental. Yah, masalah sehari-hari saja sudah ada, ngapain nambah masalah?

via GIPHY

Biasanya, term paranoid berkaitan dengan gangguan kepribadian atau juga sering ditemukan pada pasien schizophrenia dalam simptom delusi. Paranoid berkaitan erat dengan bentuk keyakinan terdistorsi mengenai dunia eksternal penderita. Mereka yang mengalami paranoid meyakini bahwa dunia eksternal (lingkungan, orang-orang disekitarnya) memiliki keinginan untuk menyakiti dirinya. Mereka yakin bahwa orang-orang sekitarnya selalu memiliki motif tersembunyi ketika menjalin relasi. Akibatnya, mereka akan sangat sensitif, mudah tersinggung, selalu waspada dan siap untuk mengkritik orang lain, dan pengolahan emosinya terhambat (dingin dan tidak punya rasa humor). Jika dalam bentuk delusi pada pasien schizophrenia bisa beragam, biasanya ektrim dan tidak masuk akal (diculik alien, diintai agen FBI, dll).

Anak-anak atau remaja yang mengalami kesendirian, hubungan dengan teman sebaya yang tidak baik, kecemasan sosial, murid tidak berprestasi, sangat sensitif, pikiran-pikiran yang tidak biasa, dan fantasi istimewa memilliki kemungkinan mengembangkan gangguan paranoid. Mereka akan tampak "aneh" dan menarik perhatian untuk dihina oleh teman sebayanya. Banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan kepribadian ini dan mencari bantuan karena masalah kesehatan mental lain, seperti depresi atau kecemasan. 

Psikolog/terapis biasanya kesulitan dalam melakukan treatment kepada klien yang mengalami paranoid karena terhambatnya membangun hubungan yang berlandaskan kepercayaan dengan mereka. Makanya, psikolog harus lebih mengusahakan dirinya untuk tenang, sabar, menghargai, dan disisi lain harus extremly straight-foward  (blak-blakan). 

Semoga infonya bermanfaat, selamat merenung 😃

ᐯᗩᑭ

Referensi:

American Psychiatric Association: Diagnositic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Ed. Arlington, VA, America Psychiatric Association, 2013.
Nolen-Hoeksema, Susan. 2013. Abnormal Psychology 6th ed. New York : McGraw-Hill
VandenBos, Gary. R. 2015. APA Dictionary of Psychology, 2nd ed. Washington: American Psychological Association.



Komentar