Cemas atau Kecemasan?


(Cr: Mary Long - Adobe Stock)

Siapa yang belum pernah merasakan cemas selama hidupnya? [Seharunya tidak ada orang normal yang mengacungkan tangan dan menjawab bahwa dirinya belum pernah merasa cemas. Jika ada, mungkin mereka belum memahami apa fungsi cemas]. 

Cemas itu tidak selalu negatif. Menurut Nevid dkk. (2003) [bukunya masih jadul], cemas itu normal dan bahkan adaptif digunakan oleh manusia untuk merespon ancaman. Kita bisa membayangkannya dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini. Cemas membuat kita menjadi lebih waspada dalam menghadapi virus tersebut. Kita menjadi seseorang yang rajin cuci tangan dengan sabun [bukan cuma basahin tangan], menjaga kebersihan, dan lebih rajin untuk minum vitamin. Tetapi, (ke)cemas(an) dapat dikategorikan menjadi gangguan mental ketika derajat kecemasan tersebut tidak sesuai dengan proporsi ancaman yang dihadapi. Pada taraf yang sangat berlebihan, kecemasan ini dapat mengganggu hidup kita sehari-hari.
Ada kecemasan yang sifatnya objektif dimana kebanyakan orang menganggap hal-hal tertentu memang pantas dicemaskan (mis. ular, hutan, gelap). Ada kecemasan yang sifatnya subjektif, artinya  hanya orang-orang tertentu merasa cemas karena memiliki pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan, konflik-konflik internal, ataupun peristiwa traumatis dimasa lalu, dan mengasosiaskannya dengan kondisinya saat ini (mis. lingkungan baru, tanggung jawab, hingga phobia). Ada juga kecemasan terhadap kecemasan itu sendiri [Nah loh, bingung ngga?], sebutannya meta-anxiety. Orang-orang yang mengalaminya, merasa cemas karena memikirkan kecemasannya sendiri.

(cr: blessingmanifesting.com)

Ini merupakan gambaran secara besar perbedaan cemas dan gangguan kecemasan [dirangkum langsung pakai gambar, ✌✌]. Untuk kolom dengan background kuning merupakan gambaran bentuk cemas, sedangkan background biru menggambarkan simptom-simptom dari gangguan kecemasan.
Dikatakan mengalami gangguan kecemasan adalah jika kita merasakan semua simptom dalam kolom biru, daaaaaaan memang jika sudah diberikan diagnosa oleh Psikolog/Psikiater. Jadi, walaupun di kolom biru kalian merasa memiliki semua simptom, tapi belum ada diagnosa dari Ahli, jangan memberi label "gangguan kecemasan" pada diri sendiri [Mari kita belajar untuk tidak cepat memberikan label negatif pada diri kita].

Saya, termasuk orang yang memiliki kecemasan subjektif. Setiap saya ingin melakukan presentasi materi baru di depan orang (banyak orang/dosen/figur otoritas), saya akan merasa kesemutan pada bagian tangan dan lengan. Saya juga bisa muntah-muntah sebelum melakukan presentasi. Apa saya mengalami gangguan kecemasan? Tidak. Mengapa? Karena saya mampu mengatasi kecemasan yang saya miliki dan saya masih berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. [Padahal simptom kesemutan dan muntah-muntah ada di anxiety disorder, tuh]. Iya, nyaris memang, tapi saya mampu mengatasi hal tersebut. Menurut saya, tidak jadi masalah bagi beberapa orang memiliki kecemasan yang kuat. Hal yang penting adalah apakah mereka mampu mengatasinya atau tidak. Makanya, kemampuan problem solving dibutuhkan dalam menghadapi kecemasan.

Salah satu problem solving pada klien-klien saya yang mengalami gangguan kecemasan adalah ruminative thinking. Ruminative thinking adalah bentuk pemikiran mengenai hal-hal negatif yang biasanya serupa (merujuk pada diri dan kecemasan yang dimiliki), dilakukan secara berulang dan terus menerus, tanpa menemukan solusi atau melakukan tindakan penyelesaian. Semakin sering seseorang melakukan ruminative thinking, semakin kuat kecemasannya. Beberapa penyebabnya adalah karena: 1.) Masalah tidak terselesaikan; 2.) Banyak emosi negatif yang berkembang seperti rasa kecewa, frustasi, marah, takut, sedih, dll; 3.) Bentuk pemikiran tersebut membuahkan pikiran-pikiran negatif lainnya. Akhirnya, mereka kembali merasakan kecemasan dan intensitasnya semakin kuat. BOOM! Terbentuklah lingkaran setan


Berarti penyebab kecemasan adalah masalah problem solving yang tidak adekuat, dong. "Iya" untuk psikologi penganut sudut pandang kognitif, tapi mungkin "tidak" untuk penganut ranah psikologi lainnya seperti psikodinamika, behavior, fenomenologis, dll. [Penentuan ranah psikologi ini berkaitan dengan kebutuhan klien dan kompetensi psikolog].

Nevid (2008) mengkarakteristikan simptom kecemasan berdasarkan tiga simptom besar, yaitu aspek fisik, kognitif, dan aspek perilaku. 
1. Aspek fisik, ditandai dengan adanya perubahan kondisi biologis yang terlihat dan dapat rasakan saat merasa cemas, misalnya muncul keringat, kesulitan untuk berbicara, suara bergetar, keinginan untuk buang air kecil, sulit bernafas, jantung berdebar kencang, merasa lemas dan pusing. 
2. Aspek kognitif, ditandai dengan bentuk pemikiran dan pola pikiran yang khas dimiliki oleh seorang pencemas. Seperti sulit konsentrasi, berpikir tidak kompenten dalam menyelsaikan masalah, ketakutan terhadap masa depan, atau adanya keyakinan yang tidak rasional (irrational belief). Biasanya, para psikolog yang kompenten dalam intervensi Cognitive Behavioral Therapy, akan berusaha untuk mengubah keyakinan tidak rasional atau negative automatic thoughts (NAT) dari pencemas. 
3. Aspek perilaku, ditandai dengan bentuk-bentuk perilaku yang khas dimiliki oleh pencemas seperti menghindari tanggung jawab [saya kadang-kadang aja], bergantung pada subjek/objek tertentu, dan perilaku gelisah.

Lalu bagaimana cara mengatasi penderita gangguan kecemasan? Cari tenaga ahli Psikolog/Psikiater untuk memastikan apakah memang orang tersebut memang mengalami gangguan kecemasan atau tidak. Sekarang, sudah banyak bentuk terapi yang bisa diberikan, salah dua-nya adalah Cognitive Behavioral Therapy dan Mindfulness Based Cognitive Therapy [digunakan untuk melatih fokus agar berhenti melakukan ruminative thinking].
Buat kalian yang merasa nyaris gangguan kecemasan, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Yang paling utama adalah kita harus memahami diri sendiri terlebih dahulu. Kita dapat membuat list: kekuatan dan kelemahan diri, hal-hal yang kita sukai dan tidak sukai, dan sumber daya di luar diri. Kita juga bisa tanyakan kepada keluarga atau teman yang mengenal kita [terkadang mereka memiliki mata yang lebih jeli dari pada kita, terutama memandang kekurangan kita 😁😁]. Atau, jika ingin lebih akurat dalam memahami diri, kita bisa pergi ke seorang yang ahli [Psikolog/Psikiater, bukan peramal atau dukun yaa]. 

Semoga infonya berguna, dan selamat merenung :)
ᐯᗩᑭ

Komentar