Are You Brave Enough? Pt. 2



Sebelumnya, saya pernah memaparkan topik mengenai keberanian yang dapat kita lakukan ditengah situasi pandemi. Sekarang, saya akan memamparkan topik lain mengenai keberanian tentang menyatakan kebenaran Kristus. 

Jadi,seberapa berani kamu untuk memperlihatkan iman sebagai seorang Kristen di tengah masyarakat Indonesia? 

Pernah tidak, merasa sendiri dan terasing hanya karena berbuat benar di lingkungan sosial atau tempat kerja? Lalu disitu, nilai-nilai yang kita anggap benar mulai diuji dan kita mulai merasa insecure karena nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai yang dianut oleh lingkunganmu. Banyak dari kita merasa takut terhadap penolakan yang akan diterima, jika kita mengungkapkan nilai kebenaran yang dimiliki atau nilai Kristen yang kita anut. Tidak jarang kita menemukan diri dalam kondisi diam. Memilih bungkam walaupun hati nurani ingin berteriak. Memilih pasif ketika tindakan amoral aktif terjadi. Pilihan untuk diam ini bukan pilihan yang benar dan baik namun, jika kita memilih untuk aktif dalam mengaplikasikan nilai-nilai Kristen, kebutuhan rasa aman kita dalam lingkungan sosial tersebut terancam. 
Pdt Ujun Junaedi menyatakan alasan mengapa kita takut untuk mengungkapkan kebenaran,
Karena ada harga yang dipertaruhkan, entah itu reputasi, materi, relasi yang mungkin saja bisa rusak, hilang, bisa saja tidak lagi dimiliki kalau kita mengungkapkan kebenaran                                                                                            -Pdt. Ujun Junaedi

Menurutnya, ada kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menghambat kita untuk menyatakan kebenaran.  Ia menggambarkan (salah dua-nya) kebiasaan segan dan sudah biasa.
Kebiasaan segan [nggak enak negur, nggak enak ngomong, dan nggak enak lainnya] bisa berwujud dalam hal positif maupun negatif. Ini tergantung dari bagaimana kita mengaplikasikan perilaku ini. Segan terhadap orang yang lebih tua sehingga membuat kita menjadi lebih sopan merupakan contoh hal positif. Beda jika segan untuk jujur ketika atasan berbuat salah, yang kalau dibiarkan mungkin akan menyebabkan kejahatan atau kerugian besar di perusahaan. 
Kebiasaan kedua adalah kebiasaan sudah biasa, dan ini dianggap sangat berbahaya. Mengapa? Karena jika sesuatu yang salah menjadi kebiasaan, hal salah itu lama-lama bisa dianggap menjadi hal yang benar. Salah satu contoh kebiasaan yang sering saya temui saat bersekolah adalah kebudayaan menyontek. Parahnya hal ini dilakukan dalam konteks nasional. Jujur, saya sempat frustasi saat itu karena nurani saya diuji. Saya bukannya anak yang tidak pernah menyontek, bisa dibilang saya termasuk ahli, namun saya tahu bahwa ujian negara bukan hal yang sederhana. Hal yang saya lakukan adalah tentu saja berdoa dan mencari dukungan. Untungnya, saya punya semua dukungan, yaitu Tuhan, keluarga, dan seorang senior yang mampu lulus tanpa harus melakukan kecurangan. Akhirnya, saya lulus dengan nilai pas-pasan 😀 [karena saya tidak memiliki bakat sih]. Tetapi, saya bersyukur karena saya mampu mengaplikasikan nilai kebenaran yang saya anut dari dulu. Ironisnya, kebudayaan sudah biasa ini ditemukan di lembaga pendidikan [Jangan heran kalau koruptor merajalela di Indonesia].

Apakah kita berani untuk menyuarakan kebenaran di tengah kebiasaan ini?

Di dalam injil Matius 10:24-39, Tuhan Yesus menggambarkan penganiayaan yang akan kita hadapi sebagai pengikut Kristus.
Tuhan Yesus berkali-kali mengatakan "jangan takut" (ay 26, 28, 31) terhadap ancaman yang dapat menghambat untuk mengungkapkan kebenaran Tuhan atau menimbulkan ketakutan. Ada dua ancaman yang tersirat dalam perikop bacaan ini. Pertama adalah ancaman dari dalam diri (internal) yaitu ancaman yang berkaitan dengan keinginan (dorongan) daging atau Iblis (ay 25), sedangkan yang kedua adalah ancaman dari luar diri (eksternal), yaitu orang-orang di lingkungan kita yang memiliki kekuasaan untuk menindas (ay 28).
Dalam ayat 26, Tuhan Yesus menjanjikan bahwa semua kebenaran akhirnya akan terungkap, jadi kita tidak perlu takut untuk menyuarakannya. Ia juga menjanjikan bahwa Tuhan yang penuh kuasa (ay 28), lebih hebat diatas segalanya dan apapun dari yang ada di bumi [salah tiga-nya reputasi, materi, relasi]. Jadi, mengapa kita harus takut? 

Ngomong mah gampang kali. Memang. Kata-kata ini muncul dalam pikiran saat saya menulis topik ini, tetapi saya beruntung karena memiliki banyak pengalaman yang membuktikan janji-janji Tuhan nyata adanya. Salah satunya adalah bahwa saya masih survive dan merasa bahagia hingga saat ini. Saya punya materi [gaji freelancer sama uang jajan], walaupun tidak banyak namun saya masih dapat memenuhi kebutuhan dasar. Saya punya reputasi yang dapat dikatakan baik, walaupun tidak terkenal-terkenal amat. Saya juga punya orang-orang yang selalu mendukung saya dalam semua kondisi. Terutama, saya punya Tuhan.

Intermezzo : Jika kita menelaah lebih dalam, sebenarnya perikop ini seperti analogi teori penguatan perilaku. Kita bisa melilhat bahwa Tuhan Yesus memberikan kita tugas (stimulus/respon) dan juga memberikan kita motivasi (energi) & janji (reward/penguat perilaku). 

Seringkali, ketakutan yang kita rasakan adalah sesuatu yang sifatnya irasional. Maka dari itu, jangan menggunakan kacamata kita dalam melihat ketakutan. Arahkan ketakutan kita hanya kepada Tuhan, karena dia empunya semua yang ada di semesta. Berusahalah terus menerus untuk tetap setia dan menyuarakan kebenaran di mana pun kita berada. Walaupun akhirnya kita mungkin akan menderita, tetapi janji Tuhan dapat mengatasinya. 

Semoga infonya bermanfaat dan selamat merenung😃
ᐯᗩᑭ

Komentar