Hello, there! Setelah satu tahun lamanya saya hanya membuat judul di draft, akhirnya saya kembali dan sedang ingin membahas mengenai peran ayah, fenomena fatherless.
Setiap orang memiliki perbedaan dalam memandang peran ayah, tergantung dengan pengalaman dari setiap mereka. That's okay karena sebenarnya tidak ada standar yang benar-benar ideal mengenai orang tua. Toh, tidak ada orang tua yang sempurna. Ini yang perlu kita tanamkan dalam pemikiran kalau melihat fenomena fatherless. Nah, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai fenomena fatherless, akan lebih baik jika kita tahu dulu apa saja peran ayah dan pengaruhnya terhadap anak. Kita akan membahas peran ayah dari beberapa sudut pandang psikologi.
Ayah sebagai figur attachment. Teori attachment menekankan pada pentingnya kelekatan atau bonding yang terbentuk dari relasi seseorang (di mana untuk anak berada pada awal kehidupan) dengan orang-orang signifikan dalam hidupnya sehingga memunculkan kemampuan dalam mengolah emosi, kesehatan mental, serta keberfungsian psikososial. Ada beberapa hubungan attachment yang terbentuk pada bayi. 1) Pre-attachment pada usia 6 minggu, di mana bayi belum mengembangkan attachment pada pengasuh yang spesifik; 2) Preference indiscriminate pada usia 6 minggu - 7 bulan saat bayi mulai menentukan yang mana menjadi pengasuh primary (biasanya ibu) dan ayah yang biasanya menjadi pengasuh secondary; 3) Discriminate di usia 7-10 bulan yaitu bayi semakin spesifik dalam memperlihatkan perhatiannya terhadap salah satu figur attachment; 4) Multiple di usia 10 bulan ke atas, yang memperlihatkan kelekatan tidak hanya pada ayah dan ibu. Kelekatan yang baik terhadap kedua figur orang tua akan menumbuhkan trust dalam interaksi sosial di masa depan, menginterpretasi, memahami, dan mengatasi emosi negatif saat situasi menekan. Kelekatan ayah-anak berpengaruh pada terbentuknya kontrol diri, membangun kepercayaan diri dan prestasi akademik, serta dapat menjadi dasar rasa secure bagi remaja
Ketika ayah dan ibu memperlihatkan kehangatan, saling jaga, dan kedekatan maka akan diasosiasikan dengan hasil yang positif bagi anak, secure attachment
-Lamb (2010)
Ayah sebagai objek internalisasi anak. Memahami bagaimana kita menginternalisasikan kelekatan pada masa awal anak-anak dan bagaimana keyakinan itu akan memengaruhi relasinya (Jones, 2005). Artinya, relasi seseorang saat ini dengan orang lain atau lingkungannya merupakan hasil dari interaksi dan dinamika diri yang sudah terinternalisasi semenjak kecil. Internalisasi objek ada secara primer dan sekunder. Objek primer adalah ibu karena secara biologis bayi membutuhkan ASI yang menjadi kebutuhan primernya. Ibu dipandang sebagai pemenuh kebutuhan, menjaga, dan memberi rasa nyaman. Objek sekunder adalah ayah. Jones (2005) mengungkapkan bahwa proses internalisasi anak juga bisa terjadi dari bagaimana sikap ibu terhadap ayah. Ketika ibu bersikap negatif terhadap ayah, anak mungkin saja mengembangkan internalisasi buruk yang nantinya berdampak pada pandangan terhadap dirinya.
Jika relasi yang dibangun tidak memuaskan, maka akan timbul rasa frustrasi pada anak, merasa perasaan nyamannya dirampas atau tidak dipedulikan sehingga mencari objek lain di luar. Mereka mencari orang lain yang mungkin di awal tampak dapat memenuhi kebutuhannya, lalu terpaku pada harapan bahwa orang tersebut dapat melakukannya. Ia mencari orang lain yang diidealkan untuk melengkapi diri, menolak atau menghindari orang-orang yang mungkin bisa memenuhi kebutuhannya.
Ayah sebagai role model. Pernah mengingat rasanya mengidolakan seseorang? Mungkin, ada beberapa dari kita yang mengidolakan ayah kita. Apa yang dilakukannya tampak keren dan kita ingin juga bisa melakukannya. Ayah memang memiliki spesialisasi bermain dengan anak. Permainannya biasanya seru, merangsang indra, dan membangkitkan emosi bergairah. Ayah mengenalkan anak pada aktivitas-aktivitas baru dan menghabiskan waktu bersama. Ini membuat anak merasa ingin menjadi ayahnya yang tampak keren dan menyenangkan.
Ayah untuk membangun identitas dan kesadaran gender. Ayah menjadi model utama maskulinitas anak laki-laki, termasuk nilai-nilai tanggung jawab, dan cara berinteraksi dengan dunia luar. Bagi anak perempuan, ayah dapat menjadi model untuk memahami dinamika hubungan antara gender dan harapan tentang perempuan. Keterlibatan ayah membantu anak memahami identitas mereka dalam konteks keluarga dan masyarakat--nilai, tradisi atau norma. Keterlibatan ayah yang baik dapat memberikan dukungan emosional secara konsisten dan meningkatkan rasa percaya diri anak serta memberi rasa aman saat anak melakukan eksplorasi dan melibatkan ayah dalam bermain. Peran ayah mampu meningkatkan kemampuan keterampilan sosial anak, memengaruhi aspirasi dan ambisi anak dalam prestasi dan karir mereka nantinya, rasa safety, serta lebih ke depannya memengaruhi saat anak dewasa dalam menjaga stabilitas secara ekonomi.
It is easier for father to have children than for children to have a real father
-Pope John XXIII
Lalu, bagaimana jika tidak adanya peran ayah dalam kehidupan anak?
Fatherless berkaitan dengan absennya figur ayah dalam proses pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis. Menurut Smith (2011), seseorang bisa dikatakan berada pada kondisi fatherless ketika tidak memiliki ayah atau tidak adanya relasi yang terjalin dengan ayah. Ketika figur ayah absen, anak berusaha untuk mencari pengganti figur tersebut. Saat menemukannya ia akan ketakutan bahwa figur yang dibutuhkannya akan hilang dan terpaku pada kebutuhan untuk selalu menemukan hubungan tersebut. Ron Huxley mengungkapkan bahwa daddy hunger merupakan suatu keinginan tidak disadari yang dimiliki seorang anak untuk berhubungan dengan pria. Anak-anak mencoba memberi makan rasa lapar itu dengan cara yang tidak sehat. Ketika mereka mendapatkan perhatian dengan cara yang tidak sehat, mereka (menjadi) merasa lebih lapar dari sebelumnya, karena apa yang mereka dapatkan bukanlah figur ayah yang sejati.

Rosenthal (2010) membuat tulisan dan dari bukunya The Unavailable FATHER: Seven Ways Women Can Unsertand, Heal, and Cope with Broken Father/Daughter Relationship, ia menceritakan mengenai pengalamannya dan pengungkapan karakter dari Unavailable FATHER berdasarkan wawancara, clinical work, serta cerita pribadinya. Terdapat 6 karakter unavailable father yang diungkapkannya dalam buku tersebut yaitu dissaproving father, mentally ill father, substance-abuse father, abussive father, unreliable father, dan the absent father.
Setahun lalu, sempat viral informasi bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara fatherless sedunia. Namun, informasi ini ternyata tidak dapat divalidasi karena tidak adanya sumber dan riset berdasar. Akan tetapi, ada data UNICEF yang menyatakan bahwa jumlah anak kehilangan sosok ayah mencapai kurang lebih 3 juta anak. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Hal ini tetap perlu menjadi perhatian negara dan pemerintah (kalau pemerintahnya mementingkan masyarakat, ya🙄).
Beberapa faktor penyebab terjadinya fatherless di Indonesia ialah budaya patriarki. Banyak ayah yang meyakini perannya hanya mencari nafkah dan menyerahkan seutuhnya peran pengasuhan hanya pada ibu. Selain itu, masalah Married by Accident dan kehidupan remaja yang melakukan seks bebas membuat para lelaki sebenarnya belum siap mengemban tugas sebagai ayah. Apakah semua pasangan muda belum siap sebagai ayah? Nampaknya, tidak. Saya ceritakan sedikit pengalaman saya di suku Baduy dalam. Masyarakat adat Baduy dalam mayoritas menikah di usia muda (belasan) namun mereka sudah siap berperan sebagai ayah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh aturan adat yang mengatur peran keluarga.
Masalah rumah tangga seperti keluarga broken home, pasangan bercerai hidup ataupun mati, serta masalah rumah tangga lainnya dapat menjadi penyebab anak kehilangan figur ayah. Permasalahan ekonomi (yang nampaknya menjadi faktor yang paling populer di Indonesia) juga bisa menjadi penyebab fenomena ini. Mereka yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah cenderung kurang berfokus pada pengasuhan anak atau kesehatan mental karena prioritasnya adalah untuk bertahan hidup--urusan perut.

Mengapa fenomena fatherless ini perlu diwaspadai? Karena nantinya akan memengaruhi sistem masyarakat pada masa depan. Tentu banyak dampak negatif yang muncul saat anak tidak memiliki figur ayah sesuai dengan peran yang telah dipaparkan sebelumnya, dari masalah perilaku (displaced anger, adiksi alkohol dan narkoba, kesulitan mengendalikan agresi), masalah mental (terkait krisis identitas, self-esteem yang rendah, masalah adaptasi, kurang adekuat dalam melakukan problem solving, depresi hingga suicide), masalah kriminal, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan secara fisik (seperti obesitas, mengembangkan pola hidup tidak sehat). Bayangkan generasi-generasi penerus kita mengalami hal ini saat dewasa. Apakah negara mampu ditopang oleh generasi penerus yang kehilangan identitas diri dan tidak sehat secara fisik serta mental?
Kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Mengatasi isu fatherless perlu dari setiap lapisan masyarakat, dimulai dari keluarga inti. Tentu perlu kesadaran bagi para ayah dan ibu dalam membangun sistem keluarga yang terbuka untuk berdiskusi mengenai kondisi serta membangun komunikasi orang tua dengan anak secara dua arah. Awareness menjadi hal utama setiap orang tua bahwa mereka memegang peranan penting dalam kehidupan anak-anak mereka, kini dan nantinya. Ingat, bahwa anak-anak merupakan titipan dari Yang Maha Esa dan tidak ada keinginan dari mereka untuk lahir di dunia ini serta dapat memilih orang tuanya.
Pemerintah bisa turut andil juga dalam melakukan upaya promotif dan preventif dengan membangun program bina pra nikah, konseling pasangan, aktif bekerja sama dengan komunitas-komunitas yang peduli terhadap sistem keluarga di Indonesia, serta memfasilitasi penyuluhan dan psikoedukasi dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi atau biro-biro psikologi. Memberikan sex education bagi remaja, terbuka mengenai hal tersebut, serta membimbing mereka dalam mengolah dorongan melalui aktivitas produktif bisa menjadi salah satu cara pencegahan perilaku seks bebas.
Semoga infonya bermanfaat, selamat merenung
ᐯᗩᑭ
Referensi:
- Jones, Kim. (2005). The role of father in psychoanalytic theory. Smith College Studies in Social Work, 75:1, 7-28.
- Lamb, M. E., & Lewis, C. (2010). The developmental and significance of father-child relationships in two-parent families
- Pleck, J. H. (2010). Paternal involvement: Revised conceptualization and theoritical linkages with child outcomes
Komentar
Posting Komentar