(Cr: Canva by me)
Apakah pernah mendengar kasus PDP/ODP atau OTG (orang tanpa gejala) COVID-19 yang melarikan diri dari petugas? Menyembunyikan diri dan berbohong kepada petugas bahwa tidak pernah kontak dengan PDP/ODP?
Atau keluarga jenazah non-COVID-19 yang dijauhi oleh lingkungan karena dikira meninggal karena COVID-19?
Saya menyaksikan bagaimana ketiga hal diatas terjadi. Bagaimana ini bisa terjadi? Semuanya tidak lepas dari STIGMA SOSIAL masyarakat terhadap virus ini. Stigma sosial mungkin masih asing untuk beberapa orang. [Kalau buat saya yang belajar ilmu sosial, istilah itu udah kayak jerawat di muka saya, jadi udah ngga asingπ©].
Apa sih Stigma Sosial itu?
Stigma sosial (dalam konteks kesehatan) adalah konotasi negatif yang berhubungan dengan orang atau sekelompok orang karena memiliki (karakteristik) penyakit tertentu. Jadi, mereka diberi label, stereotipe, dibeda-bedakan, atau diasingkan. Dalam kasus tertentu, status sosial mereka dalam masyarakat sebelumnya (contoh: terhormat, pemimpin, dll) mungkin bisa hilang.
Tentu saja, perlakuan ini bisa menjadi pengaruh negatif, bukan hanya kepada orang yang mengalami penyakit, tetapi juga semua yang berhubungan dengan orang tersebut (keluarga, teman, komunitas). Malahan, orang yang tidak memiliki penyakit tertentu namun memiliki ciri-ciri yang serupa, bisa-bisa diperlakukan secara negatif. Misalnya, penyakit kanker pernafasan yang dilabeli pasien COVID-19.
Kok bisa COVID-19 menyebabkan stigma?
Menurut WHO, penyebabnya paling sedikit ada tiga. 1) karena penyakit ini masih baru dan banyak hal yang masih belum diketahui; 2) kita biasanya akan takut terhadap hal yang belum diketahui; dan 3) sangat mudah menghubungkan konotasi "takut" dengan hal-hal negatif lainnya.
Wajar memang kalau masyarakat merasa bingung, cemas, dan takut. Permasalahannya jika tidak dikendalikan, faktor-faktor ini menimbulkan stereotip yang berbahaya. Akibatnya, sekelompok orang yang merasa memiliki COVID-19 jadi menutupi gejala-gejala yang dialami untuk menghindari dirinya didiskriminasi, memandang bahwa terkena COVID-19 merupakan aib. Mereka melakukan denying dan tidak mencari bantuan untuk mengatasi permasalahannya. Mereka tidak mau memeriksakan dirinya ke dokter dan memutuskan kabur ketika menjadi PDP/ODP/OTG. Hal ini menghambat pemerintah untuk mengintervensi penyebaran COVID-19. Hasil akhirnya, (boom!π£π£π£) 41.431 kasus COVID-19 (source: wikipedia.com; 18/06) and still counting...
Makanya, kita harus sebisa mungkin menghindari stigma ini. How?
WHO memberikan tiga tips utama:
Penggunaan Kata-Kata dengan Bijak,Melakukan Peran Sebagai Masyarakat yang Peduli,Komunikasi dan Penyebaran Pesan yang Arif
1. Penggunaan Kata-Kata dengan Bijak
Ada beberapa bahasa atau kata yang memiliki makna negatif. So, penting untuk kita menyaring penggunaan kata-kata di publik.
(Cr: Canva by Me)
2. Melakukan Peran Sebagai Masyarakat yang Peduli
Sebagai masyarakat, kita bisa melakukan banyak hal yang menggambarkan kepedulian kita. Pertama, sebarkanlah fakta! Cari informasi yang valid mengenai COVID-19 ini: Apa itu COVID-19 dan gejalanya; bagaimana penularannya; bagaimana cara mencegahnya; dan masih banyak lagi. Informasi ini bisa ditemukan di covid19.go.id. Di dalam website ini juga, kita bisa melihat materi-materi edukasi untuk disebarkan ke keluarga, teman, ataupun kerabat [yang punya group WA-nya se-gambreng juga bisa].
Kita dapat mengundang para ahli atau tokoh masyarakat untuk mengedukasi masyarakat tentang bahayanya stigma sosial ini. Bisa juga menggunakan kesaksian dari pasien COVID-19 yang dinyatakan sembuh untuk memberi dukungan kepada para pejuang COVID-19. Pemberian dukungan ini dapat menghindari terbentuknya stigma sosial bagi dokter, perawat, dan relawan yang membantu penanganan COVID-19.
Bagi para desainer grafis atau pembuat poster, gunakan simbol-simbol atau gambar yang mengungkapkan keberagaman (usia, jenis kelamin, ras, dll). Apalagi dengan sensitivitas diskriminasi yang sedang tinggi saat ini.
Bagi para jurnalis, jangan melakukan pelaporan yang berlebihan pada satu orang pasien saja atau menyalahkan orang yang menjadi carrier. Perbanyak liputan dan berita yang mengungkapkan hal-hal positif dari peristiwa pandemi ini. Selain itu, untuk mereka yang memiliki banyak link sosial, dapat memulai pergerakan membangun lingkungan yang memperlihatkan kepedulian dan empati terhadap pihak-pihak terkait COVID-19.
3. Komunikasi dan Penyebaran Pesan yang Arif
Informasi tidak benar dan rumor-rumor yang tidak sahih dapat menyebar dengan cepat [malah lebih cepat dari penyebaran virus COVID-19]. Penyebaran informasi dan rumor seperti ini yang membuat stigma sosial makin kuat. Sebab itu, kita perlu mengumpulkan informasi yang valid dan jelas.
Tidak hanya mengumpulkan, kita pun harus berani dalam mengoreksi informasi yang tidak valid/tidak jelas. Komunikasikan simpati kita terhadap mereka dan terus beri dukungan kepada mereka yang membutuhkan. Ini harus dilakukan dengan sepenuh hati [kalau tidak bisa, lebih baik diam]. Lakukan komunikasi yang menggambarkan pentingnya pencegahan dan treatment.
Beranikan diri kita untuk menentang stigma sosial yang terjadi terhadap COVID-19. Berani untuk berbicara sesuai fakta dan koreksi orang lain yang dinilai memberi stigma sosial. Lakukan dengan hati-hati, penuh rasa empati, dan hargai semua orang.
Semoga infonya bermanfaat, selamat merenung π.
α―α©α
Komentar
Posting Komentar