(Photo by Natalie from Pexels) |
Teman saya meminta saya untuk melakukan obrolan (melalui group's video call) dengan remaja mengenai kesehatan mental dan masa-masa karantina terkait pandemik COVID-19 di Indonesia. Permintaan ini mengejutkan karena tidak biasanya saya diminta untuk melakukan pembicaraan mengenai kesehatan mental oleh remaja. Saya kira, remaja merasa senang akan efek COVID-19 karena bisa berleha-leha di rumah dan mengalami suasana setengah liburan [kebiasan buruk saya : negative fast judgement, generalisasi. Silakan di googling, jika ada yang belum paham apa itu generalisasi]. Saya merasa bangga karena para remaja ini mampu mematahkan judgement tersebut. Setelah mengobrol lebih dalam, saya mengetahui bahwa permintaan ini beranjak dari buah pemikiran mereka mengenai rasa bosan yang mungkin akan memunculkan motivasi untuk bunuh diri [Ini buah pemikiran ya.. Bukan berarti benar, karena kami mengobrol tanpa menggunakan landasan penelitian]. Apakah mungkin orang bisa bunuh diri karena rasa bosan?
Bunuh diri karena bosan?
Saya tidak dapat memastikan apakah hal ini benar atau tidak, berdasarkan pengetahuan dan penelitian yang saya miliki saat ini [Reader mungkin bisa bantu mencari jurnal, penelitian, atau artikel terpercaya dan memberikannya melalui comment]. Tetapi kalau berdasarkan keyakinan dan pemahaman saya (yang mungkin bisa salah), orang tidak melakukan bunuh diri karena saking bosannya. Saya sempat membaca artikel yang mungkin berkaitan, judulnya "You really can be bored to death, scientists discover", ditulis oleh Jonathan Petre. Di dalamnya tidak ada pernyataan yang mengungkapkan bahwa seorang dapat melakukan bunuh diri karena bosan.
Saya meyakini, bahwa pada dasarnya, orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri, biasanya memiliki kemampuan coping [strategi dalam menghadapi situasi yang membuat stres] dan problem solving [penyelesaian masalah] yang tidak adekuat. Bosan atas situasi pandemi COVID-19 saat ini hanyalah stressor atau pemicu, sedangkan "pelaku" yang sebenarnya adalah kemampuan problem solving/strategi coping orang tsb. Jadi kalau tetiba ada berita muncul, "bunuh diri karena bosan harus #WFH", yah... kemungkinan besar karena kemampuannya yang lemah dalam menyelesaikan masalah. Kemungkinan lain, pembunuhan berencana [Conan Edogawa mode on]? 😝😝
(Gambar: kompas.com) |
Hasilnya, sebagian besar mereka berada pada tahap zona belajar, zona bertumbuh, atau sedang berada ditengah-tengah kedua zona tersebut.
Ini diluar ekspektasi saya. Saya bangga karena mereka mampu belajar untuk memahami permasalahan hidup di era COVID-19 ini. Sebagian dari mereka juga mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami selama pandemi ini terjadi. Sebenarnya saya agak skeptis pada awalnya, jika mereka mampu mencapai zona belajar atau zona bertumbuh [negative judgmental mode on]. Berdasarkan refleksi diri dalam kehidupan sehari-hari, saya saja masih berada pada zona belajar [atau mungkin transisi menuju zona belajar]. Jadi, selain perasaan bangga terhadap para remaja, saya juga mengalami perasaan malu karena tertinggal 😳😳 [udah mau kepala tiga kok masih ngga dewasa-dewasa]. Selain obrolan diatas, mereka juga mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mempertahankan zona-zona yang telah dicapainya. Mereka mengungkapkan kesulitan-kesulitannya dalam mempertahankan nilai-nilai sekolahnya, hubungan sosial dengan teman, pengelolaan perasaan-perasaan kecewa, marah, dan perasaan bersalah karena tidak bisa produktif di era COVID-19 ini. Jika reader perhatikan lebih dalam, kita bisa melihat bahwa para remaja melakukan problem solving. Mereka berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Kesehatan mental memiliki kaitan yang sangat erat dengan kemampuan problem solving. Mari kita lihat apa itu definisi kesehatan mental:
Kesehatan mental sendiri berarti kemampuan untuk menyesuaikan diri pada situasi-situasi baru dan mampu mengatasi masalah-masalah yang dialami tanpa kesulitan yang berarti, sehingga memiliki energi yang mumpuni untuk menjadi anggota masyarakat yang konstruktif.
"Kapan kita tidak mendapat masalah?" Tidak akan pernah. Masalah akan terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Hidup kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya masalah. Masalah secara alami akan terus muncul dalam hidup manusia. Dengan menghadapi masalah, manusia selalu belajar menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika kita menghindari, menunda, atau tidak mampu menyelesaikannya, maka pembelajaran hidup kita akan berhenti pada tahap tersebut. Akhirnya, timbul beragam masalah mental disini. Makanya, jika di era Corona ini kita tidak mampu menyesuaikan diri dan mengatasi masalah, tentu akan membahayakan kesehatan mental kita.
Bagaimana sih caranya supaya kita bisa tetap sehat mental?
1. Kamu harus paham bahwa kecemasan yang timbul saat pandemi ini adalah normal
1. Kamu harus paham bahwa kecemasan yang timbul saat pandemi ini adalah normal
Kenapa normal? Karena bukan hanya kamu yang merasa cemas, tapi semua orang mengalami hal ini diseluruh dunia. COVID-19 efeknya sangat hebat sehingga menimbulkan banyak masalah pada berbagai bidang kehidupan manusia. So, thats normal jika kita merasakan takut atau cemas. Yang jadi masalah adalah kalau kita sangat terobsesi terhadap perasaan takut (cemas), atau tidak merasa cemas sama sekali. Nah, untuk yang sama sekali tidak merasa cemas coba baca artikel ini, "tak selalu buruk, ketahui 4 manfaat rasa cemas."
2. Menjaga hubungan sosial dengan keluarga dan teman
Hal ini mampu meringankan ketakutan (kecemasan) dalam menghadapi pandemi karena kita menyadari bahwa ada orang lain juga yang mengalami masalah ini. Dengan adanya lingkaran sosial (peer group, kelompok sosial, komunitas, dll), kita bisa saling mendukung dan belajar cara-cara mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang yang signifikan mampu memberikan energi bagi diri kita dalam menghadapi masalah.
3. Membuat jadwal kegiatan setiap hari
Bukan hanya anak SD, kita pun perlu membuat jadwal kegiatan sehari-hari. Banyak hal positif yang kita dapat dari membuat jadwal [ini biasanya saya berikan juga kepada klien saya]. Kenapa sih penting? Dengan membuat jadwal kegiatan, hidup kita menjadi lebih teratur [keteraturan dapat menurunkan perasaan cemas karena ketidakpastian]. Kita juga menjadi lebih aware (menyadari/waspada) terhadap masalah-masalah yang mungkin akan muncul dan dapat mengantisipasinya. Selain itu, dengan membuat dan melakukan jadwal yang sudah direncanakan, pemikiran kita akan fokus terhadap aktivitas dan kegiatan yang kita lakukan. Akibatnya, fokus pemikiran yang penuh kecemasan (hal-hal negatif lainnya) akan menurun intensitasnya.
4. Memahami diri sendiri adalah hal yang paling penting
Seperti seorang ilmuwan, kita perlu melakukan penelitian secara terstruktur terhadap masalah yang kita hadapi. Dimulai dari mengidentifikasi masalah yang kita hadapi hingga mencari langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah, kita harus memahami sumber daya yang kita miliki, baik sumber daya dalam diri kita maupun sumber daya dari lingkungan. Kita bisa mempertanyakan diri kita: apa sih kelebihan dan kekurangan yang kita miliki? apa sih hal-hal yang kita sukai dan tidak sukai? seberapa besarkah energi kita? dukungan sosial, fasilitas, dan sarana apa saja yang kita miliki? dll. dll. dll [karena sangat banyak pertanyaan, reader bisa mencoba mengembangkannya 😅😅]. Nah, semua ini harus dipahami sehingga kita bisa menyelesaikan permasalahan dan berhasil menyesuaikan diri di tengah pandemi ini.
5. Dan terakhir, berdoa
Secara pribadi, saya rasa berdoa merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Sebagai umat beragama, kita mengakui adanya misteri ilahi [contoh : peristiwa pandemi COVID-19]. Saya juga meyakini bahwa ada faktor 'x' yang menjadi penentu keberhasilan atau penyebab kegagalan dalam mencapai kesehatan mental. Kita [manusia] berusaha sebaik mungkin untuk meningkatkan kesehatan mental dan kita membutuhkan bantuan Tuhan dalam menyempurnakan usaha itu.
Walaupun pandemi COVID-19 ini menimbulkan ketakutan dan melumpuhkan banyak aktivitas keseharian kita, masih ada kok hal positif yang kita dapatkan dari peristiwa ini. Bagi yang belum menemukannya, coba cari lebih teliti lagi ya.
Selamat merenung.
ᐯᗩᑭ
Komentar
Posting Komentar